Katakanlah aku Fadly. Aku adalah laki-laki hampir setengah abad yang
kuno. Masa mudaku kuhabiskan dengan menjadi aktivis dan aku pun memegang
sebuah yayasan sebagai pengurus tetap. Aku menikah dengan istri yang
kuno juga dan anakku sudah besar bahkan sudah ada yang kuliah dan
bekerja. Aku sering mengajar (utusan yayasanku tentu saja). Banyak
muridku dan kenalanku, aku pun sering berpergian ke segala penjuru tanah
air. Begitu banyak wanita yang kutemui tetapi tidak pernah terlintas
untuk melirik ke wanita lain.
Sampai suatu hari, aku menemui seorang peserta di kelasku berwajah
manis, kulit coklat tua, bertubuh tegap, memiliki payudara besar dan
pantat yang kencang (belakangan aku tahu dia memang bekas olahragawati).
Yang menjadi perhatianku adalah dia alim dan kalem serta serius sekali
mengikuti pelajaran dan memang di akhir kursus dia menduduki ranking
pertama di kelasnya dan nilai tertinggi selama 15 tahun pendidikan ini
dilaksanakan. Dua tahun tidak kudengar kabarnya, sampai suatu saat
kuketahui bahwa tulisan di buletin dengan nama "Dhei" yang selalu
kuikuti adalah dia. Dan yang lebih kaget lagi ketika kami memerlukan
seorang pengurus pusat yang kosong, 3 orang mengusulkan dia. Singkatnya,
jadilah dia pengurus dan 2 tahun kemudian dia menikah serta memiliki
seorang anak balita. Kami sering bersama-sama dan sering ke luar kota
bersama (suaminya bekerja di kota lain) dan lama kelamaan kami bagaikan 2
orang sahabat, padahal usianya 15 tahun lebih muda. Kami saling berbagi
cerita sampai akhirnya masalah sexualitas. Kukatakan padanya bahwa aku
sering gagal dalam bercinta karena aku "peltu" (nempel metu), ejakulasi
dini. Mendengar itu dia hanya tersenyum. Mungkin karena tekanan
pekerjaanku dan banyaknya problem, aku merasa sudah 10 tahun menjadi
"peltu".
Suatu hari di kota B, pengurus lain sudah tidur, kami masih mengobrol.
Kulihat dia agak pincang, rupanya terkilir dan terlalu lelah. Kucoba
mengurutnya sedikit di kamarnya, memang sakit luar biasa. Dhei sosok
agak tomboy, gemar t-shirt dan celana pendek sewaktu santai. Setelah
mengurut kakinya, dia melanjutkan bekerja dengan note-book sambil
menonton TV, aku pun merasa ngantuk dan tanpa kusadari aku tertidur di
kasurnya. Aku terbangun hampir 2 jam kemudian dengan posisi telungkup
dan tanganku melingkar di pinggang Dhei (saat itu dia sudah di sampingku
duduk menonton TV). Ketika tahu aku terbangun, dia menggodaku, "Mas
Mas, maaf yang punya badan belum pulang kampung." Kami pun tertawa,
tiba-tiba entah setan apa, aku duduk di sampingnya dan langsung kutarik
wajahnya dan kukecup keningnya, perlahan-lahan turun ke bibirnya. Dhei
membalas mengulum bibirku dengan lembut. Langsung darahku bergejolak
karena aku ini cuma manusia kuno, berciuman pun jarang.
Dhei membuka celanaku perlahan-lahan dan dia pun membuka celananya. Kami
masih sama-sama mengenakan t-shirt. Tiba-tiba aku teringat dengan
"peltu"-ku dan benar saja, ketika penisku menempel pahanya, aku sudah
mau meledak hingga akhirnya keluar dalam waktu hanya berciuman 2 menit.
Betapa kecewanya aku, mungkin juga dia. Padahal penisku tidak kecil,
diameter 3 cm, panjang 17 cm. Kusembunyikan wajahku di samping wajahnya
(saat itu aku masih di atasnya), namun Dhei berkata sambil memelukku,
"Mas, kita coba lagi yah, kapan-kapan, dalam suasana yang lebih rileks."
Tiga bulan kami tidak pernah membicarakan hal itu, hanya saja dia
kelihatan ceria dan sering mencuri cium kepadaku. Aku senang melihat
semangatnya, sampai suatu hari tiba saatnya kami harus ke luar kota
lagi. Acara di sana 2 malam, tapi Dhei mengajakku untuk tinggal lebih
lama dengan tanggungan sendiri tentunya. Dengan segala alasan, kami pun
berpisah dengan rombongan. Dhei memilih hotel baik dan berbintang.
Begitu kami sudah rileks di kamar, dia mengajakku untuk mandi sama-sama.
Darahku mulai bergejolak lagi. Aku tidak pernah mandi dengan istriku
kecuali ia menyekaku 1 kali waktu aku sakit. Aku disuruhnya ke kamar
mandi lebih dahulu, setelah hampir 10 menit baru dia menyusul. Bagaikan
memandikan seorang bayi, dia membersihkan setiap celah yang ada di
tubuhku dan menyuruhku menggosok gigi. Dhei pun melakukan hal yang sama.
Kurasakan penisku sudah menantang dan sudah ingin meledak lagi. Tetapi
Dhei tidak menyentuhnya atau melakukan apapun yang bersifat merangsang.
Seperti acuh tak acuh saja.
Keluar dari kamar mandi, aku terkejut karena sprei sudah diganti dengan
bahan seperti perlak bahkan dilapisi lagi sebuah plastik yang diberi
karet sudutnya seperti sprei agar bisa disangkutkan di kasur. Aku
langsung bertanya, "Eyik, kamu mau bikin apa sama Mas?" Dhei hanya
tersenyum dan berkata, "Mau bikin Mas Ai santai. Jangan khawatir, Eyik
nggak akan bikin sakit, kok." Dhei mematikan AC dan membuka jendela
(kami di lantai 11). Lalu aku direbahkannya, dia mengambil cream yang
bila terkena air berbusa seperti sabun. Di samping tempat tidur sudah
ada botol mineral 600 ML sebanyak 4 botol. Digosok-gosokkannya cream
yang sudah terkena air ke tubuhku dan tubuhnya bagian depan. Aku hanya
bertanya-tanya saja melihatnya.
Mulailah dia memijit dadaku dengan posisi berlutut di sampingku.
Perlahan-lahan dikecupnya bibirku dan disedotnya dengan lembut bibirku.
Caranya menyedot khas sekali, dengan bibir dalamnya dengan sedikit
dimonyongkan bibirnya, tapi rasanya menggelitik sekali. Dimasukkannya
lidahnya ke liang telingaku dan mengulum serta menyedot daun telingaku.
"Mmmhh.." hanya itu saja yang keluar dari mulutku. Tiba-tiba, kedua
lututnya diletakkan di samping tubuhku, dan Dhei memijit tubuh depanku
dengan tubuhnya. Oh, aku merasakan kenikmatan awal. Dia melakukan
gerakan bergesekan tubuh ke atas ke bawah (karena kami sama-sama
dilumuri cream tadi), dan dia melumat bibirku. Payudaranya yang besar
dan kenyal terasa sekali di dadaku. Baru saja aku hendak membalas
melumat bibirnya, tiba-tiba Dhei berputar dan kini di hadapanku adalah
bulu-bulu vaginanya. Disanggahnya tubuhnya dengan lututnya, sementara
mulutnya sudah menghisap kemaluanku dan tangannya mengurut pahaku. Aku
mulai mengerang karena penisku kejang dan mau meledak, rupanya Dhei
mengetahui itu dan dikocoknya penisku dengan mulutnya sampai aku
menjerit kecil dan orgasme. Dihisapnya sampai tidak setetespun tersisa.
Baru kusadari bahwa ini pengalaman pertamaku di usia setengah abad
penisku dihisap. Dhei berdiri menggosok cream ke punggungnya dan
meletakkan telapak kakiku di atas kasur serta memintaku menaikkan
pinggulku. Kuturuti saja dan kejutan baru, dia meluncur ke bawah tubuhku
dalam keadaan telungkup. Pantatnya me-massage-ku dari bawah,
digoyangkannya dengan eksotik sekali. Punggungku seperti tidak bertulang
lagi. Tangannya dilingkarkan ke tanganku ke atas kepala kami beberapa
saat. Kemudian dilingkarkannya kakinya ke kakiku, dengan gerakan cepat,
kami berbalik. Sekarang aku yang telungkup, dia di punggungku. Diraihnya
sebotol air mineral, diteteskannya perlahan ke sela pantatku, maksudnya
untuk dibersihkan. Setelah itu, "Ohh, Eyik.." dia memijat sela-sela
pantatku dengan lidahnya, memijat lubang anusku sampai di bijiku.
Dijilatinya balik ke atas. Disedotinya perlahan-lahan ke bawah, dan ke
atas lagi. Spermaku berhamburan tidak tertahankan lagi di atas sprei
plastik.
Lalu dia memintaku untuk berposisi menungging, dan dia meluncur lagi
dari bawahku, kini dalam posisi berhadap-hadapan. Dengan suatu gerakan,
kepala penisku (yang sudah tegang lagi), berada di bibir vaginanya.
Naluri laki-lakiku datang dan langsung kugoyangkan pantatku sehingga
penisku keluar masuk di vaginanya. Aku benar-benar menikmati dan tidak
cepat orgasme lagi. Tiba-tiba didorongnya aku sedikit dan penisku
keluar, dengan gerakan cepat aku ditolaknya ke kiri dan dia bergerak ke
kananku. Kini kami berposisi melintang di tempat tidur, dalam keadaan
69, aku masih di atas. Aku sempat kehilangan kesadaran beberapa detik
ketika kurasakan penisku sudah dijilati dan dihisapnya, sedangkan
lututku sudah menyangga tubuhku. Aku tidak pernah menjilat vagina
sebelumnya, tapi sekali itu, aku benar-benar buas memangsa vaginanya dan
kudengar dia pun mendesah sambil mengangkat pinggulnya. Ternyata aku
suka sekali rasa vaginanya. Klitorisnya yang kecil tapi menantang enak
untuk digoda dengan lidahku. Kelihatannya Dhei mulai mengejang, dan
perlahan-lahan dibaliknya tubuhku dan dia duduk di atas perutku.
Diarahkannya penisku ke dalam vaginanya dan kami pun bercinta.
Diusapnya dadaku dengan air mineral, kemudian dengan keahlian
menyedotnya, disedotinya puting susuku lembut dan bergantian. Tidak
kusangka, ternyata ada rangsangan lain karena kukira puting laki-laki
bukan penghantar rangsangan. "Mmmhh, Eyik.. geli sekali," itu saja yang
kukatakan. Kuminta ia agar di bawah, dan gantian aku yang mengusap
payudaranya dengan air mineral. Setelah itu kujilati dan kusedoti
perlahan-lahan, dia mengerang dan dengan suara lirih sambil kami masih
bercinta,
"Mas Ai nggak marah Eyik giniin?"
"Tentu saja tidak sayang, Mas bahkan nggak percaya bisa begini."
Suaraku semakin lirih dan ngos-ngosan. Dhei mulai mengejang dan mengerang, tapi katanya,
"Aku mau kita keluar sama-sama, Mas.. Eyik tahan-tahanin, ya?"
Akhirnya kami pun keluar bersamaan dan kami benar-benar letih. Kuusap
dadanya, kekecup bibirnya. Tidak terasa kami sudah bermain-main selama 3
jam dan sejak sore itu, aku merasa kembali sebagai pejantan. Selama 3
hari 2 malam di sana, kami bercinta sekitar 10 kali.
Tidak terasa 1 tahun telah berlalu. Saat ini Dhei sedang berada di
negeri Paman Sam karena dikirim kursus oleh kantornya selama 3 bulan dan
baru berjalan 2 bulan. Aku sudah mulai uring-uringan karena kami biasa
berhubungan sex minimal 5 kali seminggu. Dhei tidak pernah menanggapi
e-mailku yang bernada porno kepadanya, jawabannya hanya seputar kursus
dan tempat-tempat yang dikunjunginya. Aku mulai kesal dan karena usiaku
yang sudah terbilang tidak muda lagi, aku pun merasa Dhei mulai
meninggalkanku. Aku tidak pernah berhasil berhubungan sex dengan
istriku, masalah "peltu" selalu terjadi lagi, padahal selalu berhasil
dengan Dhei. Tibalah hari di mana aku sudah kesal luar biasa dan
kutelepon Dhei dengan marah-marah, menuduhnya yang tidak-tidak, dan
kukatakan bahwa aku tidak lagi mencintainya, dan sebagainya, padahal dia
sedang di tengah diskusi. Dengan mesra dia menjawab, "Eyik tetap milik
Mas, Eyik tetap sayang Mas, Eyik cuma sibuk." Spontan kuteriaki dia,
"Bohong!" sambil kubanting teleponku.
Sekitar pukul 09.30 keesokan harinya, stafku mengantar seorang kurir
yang katanya ada kiriman harus kuterima langsung. Punggung si kurir
masih kelihatan meninggalkan ruangan, aku sudah berteriak gembira karena
kekasihku mengirimi tiket dan tertulis, "Masih mau jemput Eyik pulang?"
Luar biasa girang, dan segera kutelepon lagi dia. Baru sebut hallo dan
"Ticket.." dia langsung menjawab, "Katakan lagi kalau Mas sudah tidak
cinta Eyik.." Dan kami pun tertawa. Sudah 1 jam kutunggu dia di airport
di negeri Paman Sam, sampai aku tertidur di bangkunya ketika sebuah
kecupan hangat kurasakan di bibirku. Kekasihku sudah di hadapanku dengan
sweater warna-warni dan topi warna cerah senada yang memberi kesan
manis pada wajahnya. Tanpa pikir panjang kulumat habis bibirnya karena
aku begitu merindukannya sampai dengan sedikit memaksa dia mengajakku ke
mobil sewaannya.
Apartemen yang disewanya hanya memiliki 1 kamar tidur dengan 1 kamar
mandi di kamar dan ruang tengah yang bersambung dengan dapur serta 1
toilet untuk tamu di dekat pintu masuk. Apartemen kecil tapi kelihatan
ekslusive. Kulihat masakan yang sudah dingin. Rupanya pagi-pagi sekali
dia sudah masak, dan pergi untuk menghadiri diskusi, makanya terlambat
menjemputku. Sambil memanaskan makanan, kami mengobrol dan dia
menanyakan kabar keluargaku dan anaknya (aku memang setiap hari mampir
ke rumahnya untuk menengok anaknya). Selesai menyantap makanan yang
lezat, seperti biasa dia memintaku untuk mandi. Aku pun memintanya untuk
memandikanku. Disiapkannya air hangat di bak berendam dan kemudian
pakaianku dilepaskan satu persatu.
Kerinduanku tak terbendungkan lagi. Langsung kulepas juga pakaiannya dan
kudorong dia ke dinding kamar mandi. Kucium wajahnya, lehernya, puting
susunya kugigit sampai dia merintih kesakitan. Kulumat-lumat payudaranya
dan turun terus ke perutnya sambil terus kujilati dan kugigit. Aku
masuk ke bak berendam yang bentuknya bulat dan merebahkan kepalaku ke
pinggirannya sambil menarik tubuhnya. Dhei mengerti dan dia membuka
kakinya sambil setengah berjongkok dan meletakkan vaginanya di atas
mulutku untuk kujilati. Mendengar desahannya, semakin kubenamkan wajahku
di antara selangkangannya. Kujilati klitorisnya sambil kusedot. Dhei
meremas rambutku dan menarik berlawanan arah seolah-olah ingin
melepaskannya, tapi aku semakin kuat menghisap vaginanya sampai akhirnya
tubuhnya bergetar kuat dan kulepaskan karena dia sudah orgasme dan
sudah habis kusedot cairannya. Belum puas kulampiaskan rinduku, dengan
kasar dia kusetubuhi di dalam air. Air bak bergelombang dan sedikit
luber karena goyangan tubuhku yang hot dan Dhei mengerang mesra sampai
kami mencapai orgasme.
Selesai mandi, aku rebahan di tempat tidur. Diselimutinya dan
dipijit-pijit punggungku. Kami masih sama-sama bugil dan dalam sekejap
aku terlelap, letih karena perjalanan panjang. Aku terbangun 3 jam
kemudian dan mencium harum kopi di meja samping tempat tidur. Rokokku
pun ada di sana. Wajah manis itu sudah di hadapanku dengan t-shirt tipis
dan celana pendek. Kukatakan kerinduanku dan Dhei menjawabku, "Mas Ai,
selama kita di apartemen, Mas Ai tidak perlu pakaian karena badan Mas
tidak akan kering". Aku masih memikirkan kata-katanya, Dhei mengambil
sebuah toples berisi madu dengan pipet kecil yang unik. Dia mulai
menanggalkan pakaiannya. Suhu di luar berkisar 12º C, tetapi penghangat
di kamar bekerja baik, sehingga aku merasa hangat walaupun tidak
berpakaian seharian. Aku dimintanya telungkup, dan kurasakan punggungku
ditetesi madu. Dibentuknya dua garis lurus dari bahuku sampai ke
pergelangan kakiku. Setelah itu, madu itu dijilatinya mulai dari kaki
perlahan-lahan ke atas.
Sambil menindihku, dikulumnya daun telingaku. Kurasakan bulu-buluku
berdiri dan penisku mulai bereaksi. Kemudian direnggangkannya pantatku
dan ditetesi beberapa tetes madu di sela-selanya untuk dijilatinya juga.
Oh, permainan baru yang menyenangkan. Setelah selesai dengan
punggungku, aku ditelentangkan. Kini badan bagian depanku ditetesi madu,
seputar putingku, perut, pangkal paha, penis, sampai jari kakiku.
Perlahan-lahan dikulumnya jari kakiku lalu naik ke paha. Langsung ke
perut dan putingku. Dibersihkannya dengan lidahnya sampai ketika
kusentuh tidak ada lagi bekas-bekas lengket. Ketiakku yang berbulu tidak
begitu lebat juga dijilatinya sampai aku mengerang menahan geli
bercampur nikmat. Aku hanya menutup mataku karena kegelianku.
Kini dia turun ke pangkal paha. Dipijatnya dengan lidahnya dan
dikulumnya bijiku. Lalu perlahan-lahan dikulumnya penisku. Dijilat dan
dikulum kepalanya bergantian sampai akhirnya dimasukkan total ke
mulutnya. Lembut sekali bibirnya. Aku memang heran dengannya, Dhei
selalu cool, masih muda tetapi tidak pernah menunjukkan bahwa dia
menggebu-gebu. Tetapi permainannya, lebih lihai dari yang kutonton di
film-film blue.
Dalam keadaan penis tegak menantang, Dhei mengajakku turun ke karpet dan
menyandarkanku di tempat tidur. Kini Dhei di atasku memasukkan penisku
ke vaginanya. Payudaranya yang besar di hadapanku dan sangat mengundang.
Langsung kupegang kedua tangannya dan kuletakkan di balik pantatnya
sehingga dadanya lebih membusung. Sambil naik-turun, payudaranya kuciumi
dan kuhisap serta kugigit kecil dan kuremas-remas. Dhei mendesah dan
menggigit bibirnya. Ketika aku sudah sangat tegang, tiba-tiba Dhei naik
ke tempat tidur dalam posisi merangkak. Tanpa pikir panjang langsung
kumasukkan penisku ke vaginanya tetapi ternyata dilepaskannya dan
dimasukkan ke dalam anusnya. Aku bingung bercampur aduk, apalagi yang
diinginkan sekarang, pikirku. Ternyata, enak sekali bermain dengan
anusnya yang masih kencang. Cukup lama sampai aku rasa ada yang
mendorong dengan cepat di penisku. Seketika itu juga Dhei berlutut
menghadap penisku dan membuka mulutnya. Spermaku langsung menyembur ke
mulutnya dan membasahi dagu serta dadanya dan aku pun terkulai.
Sekitar 15 menit kemudian, Dhei mengajakku bilas. Dibilasinya tubuhku
dan penisku. Setelah itu dia menggandengku ke arah dapur (kami masih
bugil). Meja dapurnya terbuat dari batu dan permanen. Dhei duduk di atas
meja dan aku duduk di kursi. Diletakkannya kakinya di atas kedua
pahaku. Melihat posisinya, penisku pun langsung bereaksi. Kuhisap lagi
payudaranya. Kumain-mainkan dengan lidahku cukup lama. Dia memelukku dan
sesekali membungkuk mengulum telingaku. Nafasnya mulai memburu membuat
dadanya semakin busung naik-turun. Lalu kakinya kuangkat dan kulipat,
kuletakkan di atas meja menempel dengan pantatnya. Kini giliran
vaginanya yang kulumat-lumat dan kusedot cairannya. Penisku mengeras
lagi. Melihat Dhei meronta kenikmatan, langsung aku berdiri dan kutindih
perlahan tubuhnya. Tangannya meraih penisku dan dikocok pelan-pelan
sambil dimasukkan ke vaginanya. Kami bercinta lagi di dapur dengan hot
dan sama-sama mengerang lebih berisik. Kali ini kami lepas erangan kami
dan kerinduan kami dengan berbagai posisi di meja dapur dan tidak terasa
sudah hampir tengah malam ketika kami sama-sama meledak dan mandi
keringat. Aku bahagia karena sanggup bertahan lebih dari 1 jam.
Dua puluh hari kutemani Dhei di sana sampai selesai kursusnya. Aku
benar-benar heran melihat Dhei, kursus, mengerjakan tugas, belajar dan
bercinta, tidur hanya 4 jam. Belum lagi berbelanja, memasak dan mencuci
pakaian kami. Sesekali Dhei berenang, di apartemennya ada kolam renang.
Entah dari mana tenaga yang dimilikinya, seperti tidak kenal lelah dan
selalu bersemangat. Aku selalu di dekatnya dan kuamati apa yang
dimakannya. Memang makanan sehat semua. Tepat 14 hari di sana, kuhitung
kami sudah bercinta sebanyak 70 kali dan sisa 6 hari berikutnya, sudah
tidak kuhitung lagi. Kini hubungan kami sudah berjalan 3 tahun, Dhei
adalah kekasihku dan permata hatiku yang sangat kucintai. Dhei telah
menumbuhkan kepercayaan bahwa aku tidak punya kekurangan soal sex dan
aku pun berharap dapat tetap memilikinya walaupun dengan cara seperti
ini.